Sabtu, 25 Juli 2009

TRAGEDI BOM !! RITZ CARLTON DAN JW. MARIOTSEBUAH PERISTIWA ”KETIDAKADILAN” YANG BERULANG

Ledakan bom berkekuatan tinggi pada 17 Juli 2007 yang terjadi di Hotel Ritz Carlton dan JW. Mariot (JW. Mariot II) yang menewaskan 9 orang dan melukai puluhan orang itu sempat membuat orang bertanya-tanya? Mengapa ledakan bom terus terjadi di negeri ini, padahal pihak negara (baca: BIN, kepolisian serta pihak-pihak aparat terkait) telah mengerahkan segenap usaha dan upaya untuk memberantas jaringan terorisme? Bahkan buah dari usaha dan upaya tersebut telah berhasil mencabut nyawa para teroris itu, seperti tewasnya Dr. Azahari di Batu, Malang, misalnya?Pasca ledakan bom JW. Mariot II tersebut selain telah menumpahkan darah lebih dari 8 orang dan melukai puluhan orang, pasca ledakan tersebut—sudah tentu—juga menyulut pelbagai spekulasi terhadap motiv di balik ledakan bom jenis TNT di Ritz Carlton dan JW. Mariot tersebut.Walau pun banyak spekulasi di lontarkan oleh pelbagai kalangan, namun pelbagai spekulasi tersebut dapat direduksi menjadi dua kategori, yakni: Spekulasi pertama mengatakan bahwa peledakan bom tersebut dilakukan oleh jaringan Al-Jamaah Al-Islamiyah atau Al-Qaeda, yang motivnya sudah tentu untuk memprotes keras ditegakannya ajaran-ajaran religi yang kental dengan nilai kemanusiaan dan keadilan. Spekulasi kedua mengatakan bahwa motiv dibalik peledakan tersebut adalah untuk melakukan revolusi atau penggagalan pemilihan presiden (Pilpres) 2009.Berseliwerannya pelbagai spekulasi tersebut sebenarnya tidak mengarah pada satu bentuk pemberian solusi yang dapat meredam atau bahkan menghentikan aksi-aksi terorisme yang selalu berulang semenjak 12 Oktober 2002 (Bom Bali I), 5 Agustus 2003 (Bom JW. Mariot I), 9 September 2004 (Bom Kadubes Australia), 1 Oktober 2005 (Bom Bali II) sampai dengan 17 Juli 2009 (Bom JW. Mariot II). Solusi yang diberikan baru sebatas kejar, tangkap dan hajar. Kalau bisa digebuki sampai mati! Agum Gumelar yang dikecewakan karena Manchester United (MU) yang tidak jadi bertanding di Indonesia karena tragedi Bom Mariot tersebut pernah berkata dengan nada yang emosional dan amarah yang membakar kepalanya, “Saya minta, apabila teroris-teroris itu tertangkap, biar saya sendiri yang akan meledakan kepalanya dengan senjata api!”Yah, mainstream solusi terhadap tragedi Bom tersebut alih-alih untuk menyingkirkan dan membuat jera para teroris tersebut, justru dengan tindakan represif tersebut akan membuat jaringan teroris semakin beranak pinak atau berkembang biak. Karena semakin mereka diperangi, semakin mereka yakin bahwa ideologi yang diperjuangkannya, dalam bentuk teror, adalah benar. Coba ingat kembali peristiwa ketika Nabi Besar Muhammad SAW berperang dengan kaum Kafir Qurais! Bukankah pengikut Nabi Muhammad tidak gentar sedikit pun walau pun mereka direpresi?! Justru mereka makin berkembang dan beranak pinak demi untuk menegakan ajaran Islam, Jihad fi sabiliilah!!Dom Helder Camara dalam tulisannya yang berjudul “Spiral Kekerasan” mengajukan sebuah teori yang patut untuk kita renungkan. Teori tersebut adalah sebagai berikut:Teori spiral kekerasan dari Dom Halder Camara ini sebenarnya sangat ringkas namun jelas dan mudah untuk dipahami. Teori ini dapat dijelaskan dari bekerjanya tiga bentuk kekerasan yang bersifat personal, institusional, dan struktural, yaitu ketidak adilan, kekerasan pemberontakan sipil, dan represi negara. Ketiganya saling berkaitan satu sama lain, kemunculan kekerasan satu disusul dan menyebabkan kemunculan kekerasan lainnya. Dengan teori spiral kekerasan ini tampak bahwa Dom Helder Camara adalah seorang strukturalis yang menyadari sepenuhnya bahwa kekerasan merupakan realitas multidimensi, tidak bisa dipisahkan keterkaitannya antara kekerasan yang satu dengan kekerasan lainnya.Dari ketiga bentuk kekerasan itu yang paling mendasar dan menjadi sumber utama adalah ketidakadilan. Karena sifatnya yang mendasar dan menjadi sumber dari kekerasan lainnya, Dom Helder Camara menyebut kekerasan ini sebagai kekerasan nomor 1. “Lihatlah mendekat pada ketidak adilan di negara terbelakang.....anda akan menemukan dimana-mana ketidakadilan adalah bentuk dari kekerasan dasar dimana-mana, kekerasan nomor 1,” kata Dom Helder Camara. Dom Helder Camara melihat kekerasan nomor 1 sebagai gejala yang menimpa baik perseorangan, kelompok maupun negara, yang bekerjanya karena ketidakadilan sosial dan ketimpangan ekonomi internasional. Ketidakadilan itu terjadi sebagai akibat dari upaya kelompok elit nasioanl mempertahankan kepentingan mereka sehingga terpelihara sebuah struktur yang mendorong terbentuknya “sub-human” itu manusia menderita tekanan, alienasi, dehumanisasi martabat, kemudian mendorong mereka, baik yang langsung menderita tekanan struktural itu maupun anak-anak muda yang sudah tidak tahan lagi dengan kondisi sumpek “sub-human” itu, melakukan pemberontakan dan protes (baca: teror-pen.). Kekerasan ini terjadi, kata Dom Helder Camara, ketika “Baik mereka yang tertindas maupun anak-anak muda dengan tegas melawan ketidak adilan tersebut untuk menuntut dunia yang lebih adil.” Ketika konflik, protes dan pemberontakan itu menyembul di jalan-jalan, ketika kekerasan no. 2 mencoba melawan kekerasan no. 1, penguasa memandang dirinya berkewajiban memelihara ketertiban, meski harus dengan menggunakan cara-cara kekerasan. Dari sini, akan memunculkan kekerasan no. 3, yaitu represi dari penguasa. Dengan kata lain, kekerasan no. 3 ini menggunakan kekuatan dan cara-cara kekerasan oleh lembaga negara untuk menekan pemberontakan sipil (baca: terorisme-pen.).Bekerjanya tiga jenis kekerasan itu menyerupai spiral, karena itu Dom Helder Camara menyebutnya dengan teori spiral kekerasan. Teori ini menyatakan bahwa kekerasan yang direspon dengan kekerasan akan melahirkan kekerasan (Lambang Trijono, 2000:x-xiv).Berangkat dari teori yang dirumuskan oleh Dom Helder Camara tersebut, sebenarnya penguasa Indonesia tidak hanya melakukan represi terhadap para teroris tersebut namun juga telah melanggengkan ketidak adilan bagi rakyatnya. seharusnya penguasa bercermin, apakah kebijakan-kebijakan publik yang telah dilahirkannya telah melahirkan ketidakadilan bagi kelompok-kelompok tertentu atau tidak?Apabila kita melakukan rekam jejak terhadap aksi-aksi terorisme yang pernah terjadi di Indonesia, aksi-aksi tersebut sebenarnya merupakan aksi keberulangan. Karena yang menjadi sasaran Bom tersebut adalah simbol-simbol yang melahirkan ketidakadilan bagi rakyat, khususnya rakyat Indonesia. Coba perhatikan fakta ini: Ledakan Bom Bali I yang menyebabkan tidak kurang dari 30 mobil dan puluhan motor terbakar. Gedung McDonald’s Legian, Bank Panin, Paddy’s, Sari Club, dan Waitrus juga terbakar. Total, delapan bangunan hancur lebur. Dahsyatnya ledakan itu juga terlihat dari lubang berdiameter empat meter dan kedalaman satu setengah meter di pusat ledakan. Akibat dari ledakan tersebut sebanyak 202 warga negara Australia tewas dan hampir 400 orang mengalami luka-luka cidera. Dari seluruh korban, hanya 10 korban warganegara Indonesia yang dikenali, sisanya warganegara asing.Peristiwa itu terjadi pada hari sabtu malam minggu, saat Sari Club disesaki oleh turis asing. diskotek milik pasangan suami-istri Soeprobo-Melani yang berdiri pada 1970 tersebut memang sangat populer di kalangan wisatawan mencanegara. Meski Soeprobo mengaku tidak pernah melarang warga negara Indonesia datang ke diskotek, Sari Club, namun pada kenyataannya diskotek itu dikenal diskriminatif terhadap pengunjung dalam negeri. Ada yang menyebut, kalau tidak kenal satpamnya, pengunjung warga negara Indonesia sulit untuk masuk. Pada saat peristiwa peledakan terjadi Sari Club memang sedang penuh tamu (Bambang Abimanyu, 2006:62).Oke, sekarang coba perhatikan:Saat itu mentari pagi menyapa dengan ramahnya dua bangunan megah, Ritz Carlton dan JW. Mariot, di bilangan Mega Kuningan Jakarta Selatan. Hangatnya pagi itu seakan menemani keramah tamahan para satpam, receptionis dan pelayan yang tengah menjalani tugasnya di pagi itu.Dua bangunan yang, menurut Sydney Jone, merupakan simbol dari kekuasaan dan kekayaan Amerika Serikat itu berdiri dengan kokoh dan angkuhnya diantara hiruk pikuknya Jakarta. Bangunan yang biasa diistilahkan dengan nama Hotel tersebut memang merupakan bangunan yang biasa dikunjungi oleh kalangan jetset yang memiliki tarif sewa kamar yang mungkin tidak akan terbayar oleh seorang petani atau sopir angkot metromini atau bahkan seorang buruh bangunan yang pernah membangun dua Hotel megah tersebut.Ada pelbagai motif para kaum jetset tersebut mengunjungi hotel tersebut, dari motif yang bersifat bisnis, sekedar menginap saja, berlibur, bersenang-senang sampai dengan motif yang bersifat nyeleneh.Salah satu motif yang bersifat nyeleneh tersebut, misalnya kedatangan Al-Amin Nur Nasution (Anggota Komisi IV DPRD dari Partai Persatuan Pembangunan) dan Azirwan (Sekretaris Daerah Kabupaten Bintan) ke Ritz Carlton pada 9 April 2008 untuk melakukan transaksi kotor (korupsi) dalam kasus alih fungsi hutan lindung di Kabupaten Bintan. Tidak hanya melakukan tindakan korupsi, pertemuan antara Al-Amin dan Azirwan tersebut, lebih parahnya lagi, juga untuk melakukan serah terima perempuan penghibur yang dijanjikan Azirwan kepada Al-Amin Nur Nasution, yang tentunya dimaksudkan untuk ditiduri Al-Amin di salah satu kamar Hotel Ritz Carlton tersebut. Namun, sayang sekali, sebelum Al-Amin menerima penyerahan uang haram dari Azirwan dan menikmati tubuh perempuan penghibur tersebut, Al-Amin dan Azirwan sudah disergap atau diringkus oleh para personil Komisi Pemberantasan Korupsi, yang pada akhirnya menggiring mereka ke balik jeruji besi, penjara.Abu Semar dalam bukunya yang berjudul “Parlemen Undercover” mengatakan bahwa, Hotel selain berfungsi sebagai rest area (tempat beristirahat), Hotel juga merupakan sarana yang seringkali digunakan oleh para Anggota DPR RI untuk melakukan rapat-rapat yang bersifat informal, dan rapat-rapat yang bersifat halal sampai dengan rapat-rapat yang menjurus kepada rapat-rapat yang berkaitan dengan transaksi-transaksi haram (korupsi). Tidak hanya anggota DPR RI yang menggunakan sarana itu, sebagaimana yang dikemukakan Abu Semar tersebut. Sarana tersebut digunakan juga oleh para kaum jetset, para businesman dan pengusaha-pengusaha besar.Jumat pagi 17 Juli 2009 di Restoran Syailendra, Hotel JW. Mariot sekitar 15 Executive sedang asyik menikmati sarapan pagi (breakfast). Diantara para executive tersebut hadir pula seorang Presiden Direktur PT. Holcim Indonesia Tbk, Timothy David Mackay, Mantan Presiden Direktur PT. Newmont Pasific Nusantara, Noke Kiroyan. David Mackay dan Noke Kiroyan adalah dua sahabat yang seringkali bertemu dalam forum pertemuan rutin di hotel JW. Mariot, yang digelar oleh Castle Asia, perusahaan konsultan bisnis asal Amerika Serikat.Bertemuan yang diadakan sepekan sekali secara rutin tersebut bertajuk CEO Breakfast Meeting, forum jumatan itu digelar dari sekitar pukul 07.00 WIB hingga pukul 08.30 WIB. Pertemuan tersebut jika tidak di Hotel JW. Mariot, tempat lainnya adalah Hotel Ritz Carlton. Tempat tersebut dipilih, karena dekat dengan apartemen Syailendra, Mega Kuningan, tempat tinggal James Castle yang merupakan seorang pendiri dari Castle Asia.James Castle adalah sosok yang telah malang melintang di jagat bisnis Indonesia, sejumlah jabatan penting pernah dipegangnya, antara lain Presiden Kamar Dagang Amerika di Indonesia dan Chairman International Business Chamber of Indonesia.Yah, di forum tersebutlah para executive top itu biasanya berbagi pengalaman serta informasi seputar bisnis dan pasar sambil sarapan atau bersantap pagi. Noke Kiroyan dan Timothy David Mackay pun hampir tidak pernah melewatkannya.Perlu untuk diketahui bahwa aset-aset negara Indonesia banyak yang dicaplok oleh negara-negara asing (transnasional corporation), terutama perusahaan-perusahaan dari Amerika Serikat, baik itu melalui privatisasi maupun melalui mekanisme hutang—yang sampai dengan artikel ini ditulis (25 Juli 2009) membengkak hingga mencapai 1667 triliun—yang tentunya hutang negara tersebut harus ditanggung oleh rakyat Indonesia.. Sudah enggak menikmati hutang, eh... malah di tambah suruh bayar hutang!!Tidak pelak lagi ledakan Bom yang merupakan manifestasi dari bentuk terorisme tersebut, sebenarnya mengandung protes kebijakan pemerintah Indonesia yang tidak berpihak kepada keadilan. Bom-bom yang meledak tersebut sebenanrnya pula mengandung pesan, untuk sesegera mungkin menegakan keadilan di negeri ini. Lebih jauh lagi, segera lakukan penghancuran terhadap tindakan-tindakan maksiat yang melukai hati umat beragama!!!!Kesimpulannya sangat sederhana: Kekerasan yang dilawan dengan kekerasan akan melahirkan kekerasan. Namun kekerasan yang dilawan dengan dirumuskannya kebijakan yang berkarakter responsif atau dapat memberikan keadilan untuk rakyat + terberantasnya kemaksiatan, kemudian diimplementasikan dalam kehidupan bernegara, pasti, akan meredam bahkan akan membumi hanguskan akar kekerasan itu sendiri.

Oleh: Ismantoro Dwi Yuwono

Tidak ada komentar:

Posting Komentar